sejarah institut teknologi bandung
Pada tahun 1913 di Hindia Belanda muncul suatu gagasan tentang pembentukan “Indie Weerbaar”
(Pertahanan Hindia) yaitu milisi paruh waktu yang terdiri atas
orang-orang bumi putera, karena milisi merupakan kekuatan pertahanan
yang lebih murah daripada memperbesar pasukan professional. Namun
demikian ide tentang pembentukkan “Indie Weerbaar” ditolak oleh
pemerintah Belanda.
Ketika perang dunia I pecah pada tahun
1914 gagasan “Indie Weerbaar” muncul kembali. Boedi Oetomo yang
mempunyai cabang-cabangnya di kalangan orang-orang Jawa yang berdinas
pada tentara kolonial, bangkit dari tidurnya dan mulai mengkampayekan
pembentukkan milisi semacam itu.
Ketika kampanye tentang perlunya suatu
milisi pertahanan berlangsung, Sarekat Islam (SI) memunculkan tuntutan
yang lain yaitu harus adanya perwakilan bumi putera dalam pemerintahan
Hindia Belanda. Pada tahun 1915 Boedi Oetomo mendukung pandangan SI,
sehingga dengan demikian kampanye “Indie Weerbaar” dengan cepat berubah
menjadi isu perwakilan rakyat atau Volskraad
Sebagai kelanjutan kampanye Indie Weerbaar,
muncul keputusan agar dikirim delegasi ke Negeri Belanda untuk
menyampaikan mosi kepada Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan, dan Parlemen
Belanda. Utusan terdiri atas enam anggota yaitu Pangeran Ario
Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden
Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi
Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, Abdoel Moeis mewakili
Sarekat Islam, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev.
Selain itu, ada seorang pendamping yaitu Dirk van Hinloopen Labberton,
seorang tokoh pendukung Politik Etis
Rombongan
berangkat ke Negeri Belanda pada bulan Januari 1917 dan tiba di sana
pada awal Maret 1917 Sebelum tiba di Negeri Belanda, ketika perjalanan
tertunda di Jenewa, Abdoel Moeis bersama Dirk van Hinloopen Labberton
sudah menyampaikan gagasan-gagasan mereka dalam berbagai ceramah tentang
perlunya percepatan kemandirian Hindia Belanda, meski tetap di bawah
pimpinan Negeri Belanda. Untuk itu kemampuan bertahan di bidang militer,
intelektual, dan ekonomi sangatlah penting .
Ketika datang di Belanda, mereka diterima
dengan sedikit aneh: Untuk memimpin rombongan di Belanda, ditunjuk
seorang mentor ; polisi juga ditugaskan untuk mengamat-amati mereka.
Para anggota delegasi tidak memiliki kebebasan untuk bergerak
sendiri-sendiri. Aturan ketat itu tidak berlangsung lama, beberapa
anggota delegasi bergerak sendiri tanpa meminta idzin. (Kaoem Moeda, 28 Juli 1917). Meskipun demikian, secara formal mereka disambut secara simpatik oleh Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan, dan Staten Generaal (Parlemen Belanda)(Poeze, 1986: 113).
Dalam surat kabar Handelsblad
yang terbit di Amsterdam, diberitakan tentang acara pertemuan Delegasi
Indie Weerbaar yang diselenggarakan oleh perhimpoenan Koninklijke
Nederlandsche Vereeniging ,,Onze Vloot” pada tanggal 1 April 1917 di
Gedung Concereige Bouw. Dalam berita yang disarikan dalam surat kabar Oetoesan Hindia
itu, disebutkan bahwa hadir dalam pertemuan itu beberapa bekas Menteri
Kolonial, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.C. van Heutszt,
A.W.F. Idenburg, beberapa anggota parlemen, akademisi,dan para
pengusaha.
Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda,
diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan
dihadiri oleh para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia
usaha. Kemudian diselenggarakan pula satu pertemuan, di mana kalangan
usahawan menjanjikan dukungan untuk didirikannya sebuah sekolah
politeknik di Hindia (Poeze, 1986: 114).
Dirk van Hinloopen Labberton juga
berpendapat bahwa jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti
melindungi kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa
tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di
Bandoeng, akan didirikan Technische Hooge School (Kaoem Moeda, 16 Juli 1917).
Keinginan untuk mendirikan Sekolah Teknik
Tinggi di Hindia Belanda, sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite
Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia
sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914)
sudah muncul tulisan berjudul “Pendapatan hal Techniche Hooge School di
Hindia” . Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di
Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu.
Akhirnya dengan kedatangan delegasi Indie Weerbaar, khususnya
Abdoel Moeis berupaya melakukan negosiasi hingga berhasil dengan
disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh
Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan penuh
secara finansial Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di
Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS).(Koloniale Studien 1917-1918, hal. 158).
Menurut keterangan puterinya, Dr. Diana Moeis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut Teknologi Bandung
itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS, juga mendapat masukan dari
Abdoel Moeis, yang menginginkan agar ada unsur pribumi diterapkan dlm
bangunan tsb. Jadilah, atap gedung yang disebut Aula Barat itu
sekarang, berbentuk seperti atap rumah gadang di Sumatra Barat. Ya,
betapapun, Abdul Muis adalah orang Minang…..jadi, tak mungkin
mengusulkan atap julang ngapak bergaya Sunda he he…
Siapa Abdoel Moeis ?
Buat “urang Bandung”, Abdoel Moeis
identik dengan terminal Kebon Kelapa. Ada jurusan Abdoel Moeis-Elang,
Abdoel Moeis-Cicaheum, Abdul Moeis-Ledeng, Abdoel Moeis-Dago. Memang
bila dilacak sejarah kota Bandung, di sekitar Kebon Kalapa itu sempat
menjadi tempat diam tokoh perjuangan Abdoel Moeis. Selain itu di
sekitar Kebon Kalapa ini terdapat rumah Inggit Garnasih, isteri kedua
Bung Karno. Sehingga di sekitar Kebon Kalapa pun terdapat nama jalan
Inggit Garnasih, yang kadang disebut jalan Pungkur Ciateul.
Abdoel Moeis
dilahirkan pada 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera
Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya pada sekolah
Belanda tingkat persiapan Sekolah Stovia di Bukittinggi, Abdoel Moeis
kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Dan atas bantuan
Mr. Abendanon dapat bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan
antara tahun 1903-1905. Kemudian ditempatkan di Bank Rakyat. Kemudian
keluar karena melihat kasus pungutan liar yang dilakukan lurah dan kaum
priyayi rendahan terhadap orang-orang desa (Deliar Noer,
1995:122-123). Abdoel Moeis mengawali aktivitas dalam dunia pers dengan
memasuki Koran berbahasa Belanda, Preanger Bode. Waktu itu Abdoel
Moeis berkedudukan sebagai korektor naskah-naskah yang masuk
(Soebagidjo IN, 1981; Deliar Noer, 1995).
Kemudian bersama Soewardi Soerjaningrat
dan A.Widnjadisastra mendirikan Koran Hindia Sarekat, 50% penghasilan
dari Koran itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, karena mereka termasuk
pimpinan Sarekat Islam (SI) lokal Bandung yang berdiri sejak tahun
1912. Selain itu Abdoel Moeis pun mengelola Koran Kaoem Moeda yang juga
menjadi corong perjuangan SI juga terbit di Bandung. Merupakan Koran
pertama yang mengenalkan rubrik “Pojok” sejak tahun 1913-an.
Abdoel Moeis pun kemudian terlibat dalam
Komite Boemi Poetra bersama Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Soewardi
Soeryaningrat dalam menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda
dari penjajahan Spanyol. Karena merayakan kemerdekaan di tanah yang
dijajahnya. Ketika pecah Perang Dunia I (1914-1918), tepat tahun 1915
Abdoel Moeis sudah menjadi salah satu pimpinan Central Sarekat Islam
sebagai Commisaries (APE Korver, 1985: 220).
Nyaris sebagian besar masa mudanya ia
baktikan untuk perjuangan, bergerak melalui Sarekat Islam (SI) pimpinan
Tjokroaminoto. Bersama Soewardi Soejaningrat atau Ki Hadjar Dewantara,
Abdoel Moeis menduduki posisi tinggi di kepengurusan SI Jawa Barat.
Dan mulai April 1914 hingga beberapa tahun ke depan, Moeis dipercaya
menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI)
mendampingi Tjokroaminoto. Dengan cepat, Moeis menjelma menjadi sosok
intelektual yang berpengaruh. Pada Kongres Sarekat Islam diadakan pada
1916, ia menganjurkan agar SI bersiap-siap menempuh cara kekerasan
menghadapi Belanda jika cara lunak sudah tidak mempan.
Abdoel Moeis terkenal sebagai orang yang
selalu membela kepentingan rakyat kecil. Ia sering berkunjung ke
daerah-daerah untuk membela rakyat kecil sambil membangkitkan semangat
para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan
tanah air Indonesia. Moeis juga tidak sepakat dengan penamaan Hindia
Belanda. Baginya, Hindia Belanda menjelaskan sebuah hubungan dari
Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi. Tipe
hubungan yang sama juga diekspresikan oleh kata “daerah jajahan” yang
digunakan bagi Hindia. Moeis kemudian memberi makna politis dalam
bentuk Hindia yang harus merdeka.
Kemerdekaan bangsa Indonesia memang
merupakan impian terbesar Moeis. Pemikiran nasionalismenya ini ia
tuangkan di pelbagai kesempatan, termasuk dalam pidato-pidatonya dan
tulisan-tulisannya di media massa.
Simak nukilan salah satu pemikiran Moeis :
“Selama bumiputera tanah Hindia belum memunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta pada tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera itu. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus memunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya.”
Moeis juga berharap orang Indonesia bisa
mencontoh Amerika yang kendati bukan merupakan bangsa yang terlahir
dari asal-usul yang sama namun mereka dapat berbangga hati dengan
benderanya, atau dengan lagu-lagu kerakyatannya. Sedangkan bangsa
Indonesia tidak bisa merasakan hal yang sedemikian karena bendera Hindia
adalah bendera Belanda, dan kaum pribumi tidaklah punya lagu-lagu
kebangsaan. “Jadi patutlah kita mencari jalan lain buat membangunkan
percintaan itu kepada bangsa dan tanah air. Salah satu daripada jalan
itu, menyertai jalan-jalan yang lain, diturut oleh segala
perkumpulan-perkumpulan bumiputera, timbangan saya adalah ilmu,” lanjut
Moeis menawarkan solusi bahwa dengan memiliki banyak ilmu dan
pengetahuan akan bisa membangun perasaan cinta kepada tanah air dan
bangsa.
Mengenai gagasan kebangsaan Indonesia sebagai salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdoel Moeis berkata:
“Yang menjadi tujuan daripada
perhimpunan kaum pribumi itu adalah memerbaiki nasib kaum bumiputera.
Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak
bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu
kemerdekaan Hindia.”
Dalam sambutannya pada Kongres Nasional
SI Kedua, di Bandung 20-27 Oktober 1917 itu, Abdoel Moeis melanjutkan,
“Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang
telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat
mereka.”
“Yang pertama-tama harus kita miliki
untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu
cinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa
buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun
terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita,
berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama
bangsa kita.”
Di penghujung orasinya, Moeis kembali
menegaskan akan pentingnya menumbuhkan perasaan cinta tanah air serta
menekankan akan perlunya merapatkan barisan dan menghemat energi untuk
kepentingan-kepentingan di dalam terlebih dahulu, meski juga mesti tak
abai terhadap perkembangan-perkembangan global. “Untuk memerbaiki rumah
tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi kaum
internasionalis,” pungkas Moeis.
Ketika Perang Dunia I terjadi, bangsa
Indonesia pun siap sedia mengatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk
yang akan terjadi. Untuk itu, pada 1917, Abdoel Moeis diutus ke Negeri
Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah
pertahanan bagi bangsa Indonesia. Komite Indie Weerbaar adalah barisan
pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia
yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi
penduduk pribumi. Kendati rencana Milisi Indonesia itu mendapat reaksi
keras dari orang-orang SI Semarang, namun Abdoel Moeis tetap berangkat
ke Belanda. Menurut Moeis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan
bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih
tangguh, juga dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.
Dalam perjalanannya di dunia politik,
Abdoel Moeis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama
Tjokroaminoto sebagai wakil dari SI. Di forum Volksraad inilah Moeis
dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara.
Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan
Moeis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh
Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Akan tetapi Moeis
berpikiran lain, bahwa Volksraad menyediakan arena baru bagi pergerakan
untuk menggerakkan harapan-harapan kaum muda. Dengan Volksraad pula,
suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan
tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia.
Pertentangan di tubuh internal SI sendiri
sudah cukup parah. Orang-orang SI Semarang yang digalang oleh Semaoen,
Darsono, dan Tan Malaka adalah golongan yang bertipikal radikal.
Mereka juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
(ISDV) pimpinan Sneevliet yang merupakan cikal-bakal partai beraliran
komunis di Indonesia. Golongan non-komunis, yang dimotori oleh Abdoel
Moeis dan Agus Salim, menentang mereka dengan mengajukan kebijakan
disiplin partai: anggota SI dilarang keras untuk menjadi anggota
perhimpunan lain. Wacana disiplin partai mulai dibahas pada kongres CSI
tahun 1920, serta dipertegas dan ditindaklanjuti lebih jauh pada
kongres setahun kemudian.
Soe Hok Gie di dalam bukunya Di Bawah Lentera Merah
(Yayasan Bentang Budaya, 1999), mengungkap tiga point penting yang
menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya. Yang pertama adalah soal
agama. Bagi kelompok Moeis, agar agama Islam diperkembangkan melalui
partai. Sementara bagi Semaoen, cukuplah agama Islam itu tidak
dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Yang kedua adalah soal
nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa
yang satu oleh bangsa lainnya. Sementara kelompok Semaun menganggap
perjuangan melawan kapitalisme adalah yang terpokok. Yang ketiga adalah
sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat bahwa untuk memeperoleh
kemerdekaan diperlukan dana untuk perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal
boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok
Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.
Setelah melalui beberapa pertimbangan,
maka diputuskan bahwa usulan tentang disiplin partai diterima dan
segera dilaksanakan. Keputusan ini sontak membuat beberapa pihak
menolak, yaitu dari SI Semarang. Mereka itu di antaranya adalah
Semaoen, Darsono, Mas Marco, Muhammad Kasan, Tan Malaka, yang kemudian
mendeklarasikan SI Merah di Semarang. SI Merah lantas berubah menjadi
Sarekat Rakyat sebelum diubah lagi menjadi Partai Komunis Hindia dan
yang terakhir menjadi Partai Komunis Indonesia atau PKI.
******
Sepertinya Abdoel Moeis tidak pernah
kehabisan ide untuk melawan Belanda. Pelbagai cara perlawanan pernah
dilakukannya termasuk mengajak kaum buruh untuk melakukan mogok. Pada
11 Januari 1922, ia memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta akibat
adanya pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Moeis
adalah ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi
mogok yang dipimpin Moeis dengan cepat meluas ke luar Yogyakarta. Dalam
waktu dua minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian di Karesidenan
Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya
mengadakan aksi mogok kerja secara massal.
Pemogokan besar-besaran ini jelas
membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajak Abdoel Moeis untuk
berunding. Moeis menuntut dibatalkannya pemecatan buruh dan meminta
pemerintah membentuk suatu komite penyelidik ketidakpuasan para buruh
pegadaian. Permintaan ini ternyata tidak digubris pemerintah sehingga
membuat Moeis geram dan menggalang pemogokan dengan jumlah massa yang
lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi menurut Abdoel Moeis adalah
sebuah bentuk perjuangan nasional. Akibatnya, pada 8 Februari 1922,
Moeis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Penangkapan Moeis membuatnya
tidak bisa terjun lagi ke arena pergerakan nasional sehingga ia
memutuskan untuk banting setir menjadi petani di tempat pembuangannya
itu.
Selain bergerak di lapangan fisik, Abdoel
Moeis juga berjuang melalui tulisan-tulisannya. Namanya mulai dikenal
oleh masyarakat ketika artikelnya yang banyak dimuat di harian De
Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah
De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat “Als Ik Ees Nederlander was”
pada 1912, Moeis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda sebagai redaktur
serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran. Moeis juga
masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915
serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat.
Pengalaman jurnalistik Moeis diperoleh ketika ia bekerja untuk
suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode.
Pada 8 September 1917, ia bergabung
dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Moeis menjadi
pemantik perlawanan kepada pemerintah kolonial. Komitmennya atas
perbaikan nasib pribumi melekat pada karya yang ia tulis. Moeis juga
memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan
perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat
(asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda. Hasil usaha Neratja digunakan
juga untuk mendirikan perusahaan periklanan dan penerbitan di Sumatera
Timur.
Di samping terkenal sebagai aktivis
pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdoel
Moeis juga kesohor sebagai sastrawan kenamaan Indonesia. Karya sastra
yang berjudul “Salah Asuhan” yang sangat legendaris
itu merupakan salah satu dari karyanya yang paling monumental. Salah
Asuhan diterbitkan oleh badan penerbitan negara, Balai Pustaka.
*****
Republik telah beberapa waktu berdiri.
Hingar-bingar kebebasan menggema di mana-mana. Di pelosok di Garut Jawa
Barat, seorang petani tua lebih suka berteriak mengusir burung-burung
yang menyambangi padinya ketimbang ikut bersorak merayakan kemerdekaan.
Ia menyadari bahwa ia sudah renta. Bukan masanya lagi ikut-ikutan
berjingkrak selayaknya para pemuda revolusioner. Padahal siapa sangka,
orang tua itu adalah salahsatu penyumbang utama pembentukan Indonesia
sebelum ia memilih untuk menyepi. Petani tua itu bernama Abdoel Moeis,
pejuang intelektual yang cukup kondang kiprahnya di era pergerakan
nasional…
Tetapi, belum lama Indonesia berdaulat,
Belanda balik lagi. Masih menyalanya bara juang di hatinya membuat
Moeis akhirnya tergerak juga untuk turun gunung, kembali beraksi meski
tidak bisa seofensif dahulu. Maka didirikanlah Persatuan Perjuangan
Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk memertahankan kemerdekaan.
Laskar perjuangan ini ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian
pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya Moeis menutup
mata di Bandung pada 17 Juni 1959. Abdoel Moeis dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
sumber :https://serbasejarah.wordpress.com/2011/04/08/abdoel-moeis-penggagas-itb/
Komentar
Posting Komentar